Aku beranjak dari baringanku, duduk tegak siku-siku, dan menginjakkan kakiku di ubin putih berkilau. Aku melemparkan kakiku, berayun langkah demi langkah, menuju langit-langit. Kretak, kretuk, krak, desir tangga berkayu menahan beban seberat 43kilo.
Aku genggam campuran besi amalgam, dinginnya menyerang aliran darahku. Handle itu berputar empat puluh lima derajat, dan segitiga pengunci itu pun lepas dari kekangan menuju sangkar. Aku hamparkan tubuhku, melintang, telungkup menghadap seonggokan kapuk padat. ( kapuk tu ertinya kekabu..)
Sekejap, tulang rusuk berkontraksi, terangkat, jutaan volume gas itu memasuki ruang-ruang kejang tubuhku, dan terbuang lagi percuma, napasku terhela. Aku sudah bulat memutuskan, meski aku tersiksa dan tertusuk ribuan tombak bermata sipit, tajam beruncing dan bermata kristal, menancap tepat pada pusat lingkaran keputusanku.
( laptopku ). Mesin itu telah siap dijamah gemulai lentik jari-jemari. Permukaan lembut itu bertemu tuts-tuts bernada alphabet. Darahku mengalir, bertumpuk dan terkonsentrasi di ujung kuku. Aku mulai menumpahkan air-air putusan itu, tumpah sejadi-jadinya, melimpah, meluap, membanjiri telaga putih susu LCD bergas darah, dan tubuhku mulai mengeluarkan bulir-bulir yang tertahan di ujung pupilku.
Ribuan kiub air mulai menyusuri tiap alur alir sungai putih. Deras, bergelombang, menghanyutkan seluruh asa yang selama ini aku pendam, aku tahan, aku penjarakan dalam sel berlapis cinta. Jutaan ton molekul air itu semakin tak beraturan, berbuih dan berpusaran. Ikatan hidrogen dan oksigen itu menyiratkan riak, membenam hatiku. Dan bulir-bulir itu pun tak kuasa tertahan, mereka meluncur menuju hilir pipi, berkombinasi dengan air mengubah banjir membentuk bendang. Aku terjun dan berenang dalamnya sambil bercakap-cakap dengan hatiku.
Maafkan aku untuk ketidak-sempurnaan yang aku pancarkan selama ini,
untuk kekakuan yang aku siratkan selama ini,
untuk kebodohan yang tak pernah reda,
untuk segala khilaf yang tak berawal dan berujung
Terima kasih sudah menerimaku dalam hidupmu
Terima kasih sudah mencintaiku
Ada iringan munajat yang berlagu terdengar sayup. Aku semakin tak kuasa. Aku tak sanggup menahannya. Aku menderita. Aku menangis dalam desir hilir angin. Menangis, sejadi-jadinya. Hanya ucapan maaf dan terima kasih, itu yang aku mampu. Itu saja. Aku luka tertusuk penaku sendiri. Aku mati.
'Erk eleh, macam ne boleh mati tertusuk tu wakk? kan awak sedang menaip tu, mane datangnyer PENA?'
Adeshh aku pun benggang sendirian, terasa hilang khayalku..:p
Maafkan aku... maafkan aku.. aku betul betul mintak maaf ni...
Teruskan membaca jika kamu rasa apa yang ditulis memberi manfaat...